Aku tak bisa menebak arah pikirku setiap kali menghembuskan napasku. Sesekali, aku membuka memori rahasiaku perihal rasa sesalku. Hati yang ku bawa tiap hari menjadi lebih berat massanya, dan tidak ku ketahui membaiknya.
Rasa sesal berupa kepingan kokoh amat dalam membekas selama lima tahunku berdiri berpijak bersama tubuh ringkih. Melewati hari tanpa tahu seberapa melelahkan untuk hidup dan menuntun langkahku agar lekas membaik serta pudarnua rasa sesalku.
Kau yang pergi begitu cepat atau kau yang juga amat lelah melewati hidup serba ketertekanan. Tak aku ketahui isi hatimu, tepatnya! Sebab, kau takkan pernah memberiku kesempatan untuk menjadi pendengar atau lidahmu keluh untuk mengutarakan pola pikirmu padaku.
Sejujurnya, dalam lima tahun terakhir aku tak pernah berani meminta agar kau lekas menemuiku. Aku tak pernah berani.
Sesekali pun kala aku sendiri, menjelang tidur pun aku teringat akan dirimu. Aku yang tak pernah baik, aku yang tak memberimu kasih secukupnya, dan aku pun menyesalinya. Kala kau harus pergi meninggalkanku tanpa sepatah katapun.
Hati ialah cangkang rapuh. Kau pun juga begitu. Banyak kesahmu tak sempat kau beritahu, begitu pula aku. Bukan kita tak berani, hanya saja tak pernah menemukan waktu yang tepat.
0 comments:
Posting Komentar