Ulasan Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold

 


Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold

Toshikazu Kawaguchi | Gramedia Pustaka Utama | 224 hlm

Tak Akan Mengubah Takdir, Tapi Cukup untuk Memahami


Bayangkan kamu duduk di sebuah kafe kecil, agak tersembunyi di gang sempit. Lampunya temaram, aromanya wangi kopi yang baru diseduh. Di pojok ruangan, ada kursi kosong—konon katanya, kalau kamu duduk di situ, kamu bisa kembali ke masa lalu.


Tapi ada syaratnya: kopimu harus habis sebelum dingin. Kalau tidak… kamu akan terjebak di masa lalu selamanya.


Di kafe ini, kita akan bertemu empat orang dengan cerita berbeda. Ada pasangan kekasih yang ingin memperbaiki kesalahpahaman, suami-istri yang menyimpan luka diam-diam, kakak dan adik yang saling menjauh, hingga seorang ibu yang rela menembus waktu demi melihat bayinya lahir.


Lucunya, mereka semua tahu satu hal: meski kembali ke masa lalu, kenyataan tidak akan berubah. Orang yang pergi, tetap akan pergi. Perpisahan, tetap akan terjadi. Tapi anehnya… mereka tetap ingin melakukannya.


Kenapa?

Karena kadang, yang kita butuhkan bukanlah mengubah takdir, melainkan memahami. Satu momen tatapan mata, satu kalimat yang tak sempat diucapkan, satu pelukan terakhir—itu sudah cukup untuk membuat hati lebih tenang.


Bagian yang paling bikin hati hangat adalah kisah sang ibu yang datang dari masa lalu demi menyambut kelahiran anaknya di masa depan. Ada keberanian di sana. Ada cinta yang begitu dalam. Ada harapan yang tidak bisa dihentikan oleh batas waktu.


Dan di akhir, setiap tokoh pulang dengan hati yang sedikit lebih kuat. Mereka belajar melepaskan, mencintai dengan lebih tulus, dan menghargai waktu yang masih mereka punya. Karena, pada akhirnya, hidup memang bukan tentang mengubah masa lalu—tapi berdamai dengannya.


Jadi… kalau kamu punya kesempatan duduk di kursi itu, siapa yang ingin kamu temui?

Continue reading Ulasan Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold
,

Memanusiakan Diri Sendiri: Pelajaran Sederhana yang Sering Terlupa

 ✨ Memanusiakan Diri Sendiri: Pelajaran Sederhana yang Sering Terlupa


Manusia, secara alami, adalah makhluk sosial. Kita tumbuh dalam lingkungan yang menuntut kita untuk peka terhadap sekitar, membaca situasi, dan memenuhi ekspektasi orang lain. Tapi, dalam kepekaan itu, kita sering kali lupa satu hal penting: memanusiakan diri sendiri.


Aku sendiri pernah (dan mungkin masih) mengabaikan luka-luka kecil yang tak pernah sempat benar-benar sembuh. Aku sering memendam emosi, menunda tangis, dan berpura-pura kuat, seolah aku baik-baik saja. Ya, memanusiakan orang lain itu mulia—tapi bagaimana jika kita sendiri tidak pernah memberi ruang untuk diri sendiri merasa cukup, merasa layak, merasa utuh?


Menurut Kristin Neff, seorang peneliti di University of Texas, self-compassion atau belas kasih terhadap diri sendiri adalah kunci. Ia berkata, “Perlakukan dirimu sebagaimana engkau memperlakukan sahabat baikmu di saat ia sedang terluka.” Sering kali, kita lupa bahwa kita pun butuh pelukan, walau hanya dari diri sendiri.


Aku mulai belajar hal itu dari hal-hal sederhana. Bertanya pada diri sendiri, “Bagaimana kabarmu hari ini?” Aku mulai berdialog dengan inner child-ku—anak kecil dalam diriku yang dulu sering merasa sendiri dan tak dipedulikan. Aku belajar memberi ruang untuk lelah, mengizinkan diriku bernapas, bahkan menangis tanpa merasa lemah.


Tara Brach, seorang psikolog klinis, menyebut ini sebagai radical acceptance—penerimaan total terhadap diri sendiri, tanpa syarat. Bahwa perasaan tidak harus diselesaikan saat itu juga, cukup diakui dan diberi tempat.


Aku juga sadar, mencintai diri bukan berarti menjadi egois. Tapi, mencintai diri juga ada batasnya. Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik, pernah mengatakan: “Paradox-nya adalah, ketika aku bisa menerima diriku apa adanya, saat itulah aku mulai berubah.” Jadi, mencintai diri itu perlu—secukupnya, sewajarnya, dan dengan kesadaran penuh.


Dan yang paling menyentuh bagiku, adalah belajar berterima kasih dan meminta maaf pada diri sendiri. “Maaf ya, sudah membuatmu terlalu keras bertahan sendirian. Terima kasih, sudah tetap berjalan sejauh ini.”


Di tengah dunia yang sibuk menyuruh kita berlari, kita boleh mengambil waktu untuk berhenti. Boleh menarik napas dan bertanya dengan tulus: “Apa kabarmu hari ini?”


Karena sejatinya, memanusiakan diri sendiri bukan kemewahan. Ia adalah kebutuhan. Dan kabar baiknya: kita bisa memulainya kapan saja, termasuk hari ini.



---


Sumber: 

Self-Compassion: The Proven Power of Being Kind to Yourself (2011)

Radical Acceptance: Embracing Your Life With the Heart of a Buddha (2003)

The Gifts of Imperfection (2010)

Wherever You Go, There You Are (1994)

Continue reading Memanusiakan Diri Sendiri: Pelajaran Sederhana yang Sering Terlupa

Menjadi Fasilitator di Tanah Harapan

Tahun 2018 menjadi titik awal bagiku mengenal dunia yang belum pernah ku sentuh sebelumnya menjadi fasilitator dalam sebuah gerakan pendidikan bernama Kelas Inspirasi. Sebuah langkah kecil dari seorang gadis yang tak pernah menyangka akan berdiri di tengah orang-orang hebat, saling menggenggam harapan demi anak-anak yang merindukan pelukan semangat.


Bergabung dengan Kelas Inspirasi Kendari bukan hanya tentang berbagi cerita profesi, tetapi tentang merasakan makna keakraban, kerja sama, dan impian. Meski pada saat itu aku belum sepenuhnya percaya diri, orang-orang di sekitarku memberi ruang untuk tumbuh. Mereka adalah yang terbaik di antara yang terbaik. Dari merekalah aku belajar bahwa berbagi tak harus sempurna, cukup hadir dengan hati yang tulus.


Salah satu momen tak terlupakan adalah saat pertama kali mengunjungi sekolah. Ada rasa gugup dan lucu saat kami tersesat karena hanya bermodalkan peta digital. Tapi semua itu terbayar lunas ketika melihat senyum simpul adik-adik yang menyambut dengan riang. “Kak, kenalanpi!” seru mereka dengan logat khas. Kehangatan itu membuatku jatuh cinta pada dunia ini, dunia yang penuh semangat, tawa, dan mimpi yang menggantung di langit senja.


Hari Inspirasi menjadi puncak dari seluruh proses. Hari ketika kami, para fasilitator dan inspirator, datang langsung ke sekolah, menyapa guru-guru, dan tentu saja, bertemu kembali dengan adik-adik kecil penuh harapan. “Kak Dewi datang lagi! Banyak sekali temannya Kak Dewi!” seru salah satu dari mereka sambil memelukku erat. Aku nyaris menangis saat itu. Betapa tulus dan bahagianya sambutan mereka. Hanya karena kehadiran kami. Hanya karena mimpi.


Kami menemani mereka masuk kelas, memberi semangat melalui tepuk tangan, cerita inspiratif, dan tawa bersama. Di balik jendela kelas, aku melihat "gantungan mimpi" coretan kecil anak-anak tentang cita-cita mereka. Dokter, guru, pilot, penulis. Mimpi yang mungkin tampak sederhana bagi kita, tapi begitu berarti bagi mereka.


Satu hal yang paling membekas adalah ketika seorang adik bernama Fitri memelukku dan berkata lirih, “Kak Dewi, jangan pulang. Minggu depan datang lagi ya. Fitri akan rindu Kak Dewi.” Di momen itulah aku sadar, bahwa hadir dan peduli bisa menjadi hadiah terbesar untuk mereka.


Aku menyebut pengalaman ini sebagai senja dan secuil mimpi. Karena seperti senja yang indah meski perlahan menghilang, begitu pula harapan yang tetap menyala dalam pelukan kecil anak-anak pelosok. Mereka mengajarkan aku untuk tetap percaya bahwa mimpi, sekecil apa pun, pantas untuk diperjuangkan.


Kisah ini bukan tentang aku. Tapi tentang kita semua yang percaya bahwa setiap anak berhak bermimpi dan mendapat kesempatan yang sama untuk mewujudkannya. Mungkin kita bukan siapa-siapa di mata dunia, tapi kita bisa menjadi “senja” yang memberi warna dalam langkah kecil mereka menuju masa depan. Jangan pernah meremehkan satu hari, satu senyum, satu pelukan hangat. Karena bisa jadi, dari situlah mimpi besar dimulai.

Continue reading Menjadi Fasilitator di Tanah Harapan