Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap – Perjalanan Emosional Bersama Toshikazu Kawaguchi

Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap – Perjalanan Emosional Bersama Toshikazu Kawaguchi


Bagi para pecinta kisah yang hangat dan penuh renungan, Toshikazu Kawaguchi kembali hadir dengan novel Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap (Gramedia Pustaka Utama, 200 hlm). Sekilas, novel ini tampak sederhana, namun di balik setiap halamannya tersimpan cerita-cerita yang mengaduk perasaan—tentang cinta, penyesalan, harapan, dan cara manusia berdamai dengan masa lalu.


Empat Kisah, Satu Benang Merah


Novel ini terbagi menjadi empat bagian, masing-masing menghadirkan tokoh yang berbeda, namun semuanya terhubung melalui satu premis magis: sebuah perjalanan singkat ke masa lalu lewat secangkir kopi di kafe kecil bernama Funiculi Funicula.

Tapi ada satu aturan penting—perjalanan itu bukan untuk mengubah masa lalu. Tujuannya adalah untuk memahami, menerima, dan menyembuhkan hati.


Kutipan yang Menyentuh Hati


Salah satu bagian paling membekas ada pada halaman 101:


“Kasih sayang orangtua terhadap anaknya tiada habisnya, dan bagi orangtua, anak mereka tetaplah anak-anak tak peduli usianya. Perasaan itu tidak berubah.”



Kawaguchi mengemas pernyataan ini dengan begitu tulus. Di balik kesederhanaannya, tersimpan kekuatan emosional yang mengingatkan kita bahwa hubungan orangtua dan anak adalah sesuatu yang tak lekang waktu—penuh kasih, meski kadang tak terucap.


Dengan gaya bahasa yang lembut dan reflektif, Kawaguchi tak hanya mengajak pembaca mengikuti alur cerita, tetapi juga mendorong mereka untuk merenung. Kita diajak melihat betapa pentingnya menghargai keberadaan orang-orang terdekat, mengungkapkan perasaan selagi bisa, dan menumbuhkan keikhlasan atas luka yang pernah ada.


Funiculi Funicula bukan hanya bacaan pengisi waktu luang. Ia adalah cermin kehidupan—mengingatkan kita akan arti komunikasi, kehangatan, dan kesempatan kedua (meski hanya dalam hati).

Novel ini akan meninggalkan rasa hangat, bahkan setelah halaman terakhir ditutup. Cocok bagi siapa pun yang pernah merasakan kehilangan, kerinduan, atau cinta yang tak sempat terucap.


Continue reading Funiculi Funicula: Kisah-Kisah yang Baru Terungkap – Perjalanan Emosional Bersama Toshikazu Kawaguchi

Ulasan Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold

 


Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold

Toshikazu Kawaguchi | Gramedia Pustaka Utama | 224 hlm

Tak Akan Mengubah Takdir, Tapi Cukup untuk Memahami


Bayangkan kamu duduk di sebuah kafe kecil, agak tersembunyi di gang sempit. Lampunya temaram, aromanya wangi kopi yang baru diseduh. Di pojok ruangan, ada kursi kosong—konon katanya, kalau kamu duduk di situ, kamu bisa kembali ke masa lalu.


Tapi ada syaratnya: kopimu harus habis sebelum dingin. Kalau tidak… kamu akan terjebak di masa lalu selamanya.


Di kafe ini, kita akan bertemu empat orang dengan cerita berbeda. Ada pasangan kekasih yang ingin memperbaiki kesalahpahaman, suami-istri yang menyimpan luka diam-diam, kakak dan adik yang saling menjauh, hingga seorang ibu yang rela menembus waktu demi melihat bayinya lahir.


Lucunya, mereka semua tahu satu hal: meski kembali ke masa lalu, kenyataan tidak akan berubah. Orang yang pergi, tetap akan pergi. Perpisahan, tetap akan terjadi. Tapi anehnya… mereka tetap ingin melakukannya.


Kenapa?

Karena kadang, yang kita butuhkan bukanlah mengubah takdir, melainkan memahami. Satu momen tatapan mata, satu kalimat yang tak sempat diucapkan, satu pelukan terakhir—itu sudah cukup untuk membuat hati lebih tenang.


Bagian yang paling bikin hati hangat adalah kisah sang ibu yang datang dari masa lalu demi menyambut kelahiran anaknya di masa depan. Ada keberanian di sana. Ada cinta yang begitu dalam. Ada harapan yang tidak bisa dihentikan oleh batas waktu.


Dan di akhir, setiap tokoh pulang dengan hati yang sedikit lebih kuat. Mereka belajar melepaskan, mencintai dengan lebih tulus, dan menghargai waktu yang masih mereka punya. Karena, pada akhirnya, hidup memang bukan tentang mengubah masa lalu—tapi berdamai dengannya.


Jadi… kalau kamu punya kesempatan duduk di kursi itu, siapa yang ingin kamu temui?

Continue reading Ulasan Funiculi Funicula: Before the Coffee Gets Cold
,

Memanusiakan Diri Sendiri: Pelajaran Sederhana yang Sering Terlupa

 ✨ Memanusiakan Diri Sendiri: Pelajaran Sederhana yang Sering Terlupa


Manusia, secara alami, adalah makhluk sosial. Kita tumbuh dalam lingkungan yang menuntut kita untuk peka terhadap sekitar, membaca situasi, dan memenuhi ekspektasi orang lain. Tapi, dalam kepekaan itu, kita sering kali lupa satu hal penting: memanusiakan diri sendiri.


Aku sendiri pernah (dan mungkin masih) mengabaikan luka-luka kecil yang tak pernah sempat benar-benar sembuh. Aku sering memendam emosi, menunda tangis, dan berpura-pura kuat, seolah aku baik-baik saja. Ya, memanusiakan orang lain itu mulia—tapi bagaimana jika kita sendiri tidak pernah memberi ruang untuk diri sendiri merasa cukup, merasa layak, merasa utuh?


Menurut Kristin Neff, seorang peneliti di University of Texas, self-compassion atau belas kasih terhadap diri sendiri adalah kunci. Ia berkata, “Perlakukan dirimu sebagaimana engkau memperlakukan sahabat baikmu di saat ia sedang terluka.” Sering kali, kita lupa bahwa kita pun butuh pelukan, walau hanya dari diri sendiri.


Aku mulai belajar hal itu dari hal-hal sederhana. Bertanya pada diri sendiri, “Bagaimana kabarmu hari ini?” Aku mulai berdialog dengan inner child-ku—anak kecil dalam diriku yang dulu sering merasa sendiri dan tak dipedulikan. Aku belajar memberi ruang untuk lelah, mengizinkan diriku bernapas, bahkan menangis tanpa merasa lemah.


Tara Brach, seorang psikolog klinis, menyebut ini sebagai radical acceptance—penerimaan total terhadap diri sendiri, tanpa syarat. Bahwa perasaan tidak harus diselesaikan saat itu juga, cukup diakui dan diberi tempat.


Aku juga sadar, mencintai diri bukan berarti menjadi egois. Tapi, mencintai diri juga ada batasnya. Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik, pernah mengatakan: “Paradox-nya adalah, ketika aku bisa menerima diriku apa adanya, saat itulah aku mulai berubah.” Jadi, mencintai diri itu perlu—secukupnya, sewajarnya, dan dengan kesadaran penuh.


Dan yang paling menyentuh bagiku, adalah belajar berterima kasih dan meminta maaf pada diri sendiri. “Maaf ya, sudah membuatmu terlalu keras bertahan sendirian. Terima kasih, sudah tetap berjalan sejauh ini.”


Di tengah dunia yang sibuk menyuruh kita berlari, kita boleh mengambil waktu untuk berhenti. Boleh menarik napas dan bertanya dengan tulus: “Apa kabarmu hari ini?”


Karena sejatinya, memanusiakan diri sendiri bukan kemewahan. Ia adalah kebutuhan. Dan kabar baiknya: kita bisa memulainya kapan saja, termasuk hari ini.



---


Sumber: 

Self-Compassion: The Proven Power of Being Kind to Yourself (2011)

Radical Acceptance: Embracing Your Life With the Heart of a Buddha (2003)

The Gifts of Imperfection (2010)

Wherever You Go, There You Are (1994)

Continue reading Memanusiakan Diri Sendiri: Pelajaran Sederhana yang Sering Terlupa