Tahun 2018 menjadi titik awal bagiku mengenal dunia yang belum pernah ku sentuh sebelumnya menjadi fasilitator dalam sebuah gerakan pendidikan bernama Kelas Inspirasi. Sebuah langkah kecil dari seorang gadis yang tak pernah menyangka akan berdiri di tengah orang-orang hebat, saling menggenggam harapan demi anak-anak yang merindukan pelukan semangat.
Bergabung dengan Kelas Inspirasi Kendari bukan hanya tentang berbagi cerita profesi, tetapi tentang merasakan makna keakraban, kerja sama, dan impian. Meski pada saat itu aku belum sepenuhnya percaya diri, orang-orang di sekitarku memberi ruang untuk tumbuh. Mereka adalah yang terbaik di antara yang terbaik. Dari merekalah aku belajar bahwa berbagi tak harus sempurna, cukup hadir dengan hati yang tulus.
Salah satu momen tak terlupakan adalah saat pertama kali mengunjungi sekolah. Ada rasa gugup dan lucu saat kami tersesat karena hanya bermodalkan peta digital. Tapi semua itu terbayar lunas ketika melihat senyum simpul adik-adik yang menyambut dengan riang. “Kak, kenalanpi!” seru mereka dengan logat khas. Kehangatan itu membuatku jatuh cinta pada dunia ini, dunia yang penuh semangat, tawa, dan mimpi yang menggantung di langit senja.
Hari Inspirasi menjadi puncak dari seluruh proses. Hari ketika kami, para fasilitator dan inspirator, datang langsung ke sekolah, menyapa guru-guru, dan tentu saja, bertemu kembali dengan adik-adik kecil penuh harapan. “Kak Dewi datang lagi! Banyak sekali temannya Kak Dewi!” seru salah satu dari mereka sambil memelukku erat. Aku nyaris menangis saat itu. Betapa tulus dan bahagianya sambutan mereka. Hanya karena kehadiran kami. Hanya karena mimpi.
Kami menemani mereka masuk kelas, memberi semangat melalui tepuk tangan, cerita inspiratif, dan tawa bersama. Di balik jendela kelas, aku melihat "gantungan mimpi" coretan kecil anak-anak tentang cita-cita mereka. Dokter, guru, pilot, penulis. Mimpi yang mungkin tampak sederhana bagi kita, tapi begitu berarti bagi mereka.
Satu hal yang paling membekas adalah ketika seorang adik bernama Fitri memelukku dan berkata lirih, “Kak Dewi, jangan pulang. Minggu depan datang lagi ya. Fitri akan rindu Kak Dewi.” Di momen itulah aku sadar, bahwa hadir dan peduli bisa menjadi hadiah terbesar untuk mereka.
Aku menyebut pengalaman ini sebagai senja dan secuil mimpi. Karena seperti senja yang indah meski perlahan menghilang, begitu pula harapan yang tetap menyala dalam pelukan kecil anak-anak pelosok. Mereka mengajarkan aku untuk tetap percaya bahwa mimpi, sekecil apa pun, pantas untuk diperjuangkan.
Kisah ini bukan tentang aku. Tapi tentang kita semua yang percaya bahwa setiap anak berhak bermimpi dan mendapat kesempatan yang sama untuk mewujudkannya. Mungkin kita bukan siapa-siapa di mata dunia, tapi kita bisa menjadi “senja” yang memberi warna dalam langkah kecil mereka menuju masa depan. Jangan pernah meremehkan satu hari, satu senyum, satu pelukan hangat. Karena bisa jadi, dari situlah mimpi besar dimulai.